Kamis, 27 Desember 2012
Membeli Jogja di Malioboro
Semua orang tahu Malioboro. Sebuah ruas jalan yang berada di tengah-tengah Kota Jogjakarta. Sebuah ruas jalan yang menjanjikan seribu pengalaman visual dan historis kepada setiap pengunjung. Dengan berbagai pendapat masing-masing, semuanya akan berujung pada satu hal penting, “Malioboro, inilah salah satu alasan yang membuatku mencintai Jogja.”
Menawarkan berbagai pengalaman yang menarik, Malioboro seperti seorang gadis yang terus bersolek dan memancarkan daya tarik kepada setiap orang. Belum lengkap ke Jogja jika tidak menikmati Malioboro. Akan tetapi, benarkah demikian adanya kondisi Malioboro hari ini? Dengan maraknya pedagang kali lima yang terkesan apa adanya, para turis dan pejalan kaki yang mesti berjalan berjejalan laiknya pasar senggol, dan alih-alih kita merasa nyaman, apakah kita menikmati keindahan tata kota ketika penataan parkir yang memarkir kendaraan kita di tempat yang tidak tertata?
Penjaja kuliner khas Jogja yang nikmat, gelaran pernak-pernik cindermata para pedagang kaki lima yang merangsang mata hasil kerajinan tangan yang juga khas Jogja, telah menjadikannya Jogja begitu dekat untuk diraih dalam genggaman. Itu masih ditambah dengan alunan berbagai musik dan atraksi kesenian yang digelar di sepanjang trotoar, menjadikan Yogya juga begitu nikmat di telinga. Nikmat jika dirasa. Tak ayal lagi, kita semua bisa “membeli Jogja di Malioboro”, karena semangat Jogja tertumpah di sini.
Pertanyaan besar kita selanjutnya adalah ketika persoalan menjual telah mampu dibangun dengan sangat baik oleh Malioboro, apakah demikian juga dengan persoalan ‘membeli’. Bagaimana mereka menempatkan pembeli secara baik, agar Malioboro tetap hidup dan menjadi kekangenan bagi siapapun.
Malioboro, adalah jantung kota Jogjakarta. Beberapa kalangan menyatakan bahwa nama “Malioboro” diambil dari nama seorang residen Inggris di Jogjakarta, yang bernama Marlborough. Jalan ini merupakan penghubung antara Keraton dan Tugu, sekaligus menjadi satu garis imajiner antara puncak Gunung Merapi dengan Pantai Parangtritis. Sementara ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa nama malioboro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "karangan bunga". Alasannya, bahwa sepanjang jalan tersebut akan dipenuhi dengan karangan bunga ketika Keraton Jogjakarta tengah mengadakan Kirab Ageng, dimana Sultan Hamengkubuwono beserta keluarganya akan melintas dengan mengendarai kereta kencananya.
***
Sejak awal mula, Malioboro merupakan pusat perdagangan setelah Sri Sultan Hamengkubuwono I meresmikan sebuah pasar tradisional pada tahun 1758. Dalam perkembangannya Malioboro kemudian menjadi tempat pusat perekonomian hingga saat ini. Di kawasan Malioboro ini menjamur para pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai aneka produk buatan lokal.
Kerajinan lokal yang dapat kita jumpai disana antara lain batik, hiasan rotan, wayang kulit, beraneka macam atas, sandal, sepatu, blangkon, pernak-pernik perak dan lain-lain. Sedangkan di malam hari, sepanjang Malioboro berjajar gelaran lesehan yang menyajikan makanan khas Jogja yaitu gudeg. Aktivitas lain yang menggairahkan Malioboro di malam hari adalah kesenian, seperti musik, melukis dan berbagai happening art.
Ada gula ada semut, dengan bergairahnya perekonomian di kawasan ini maka semakin banyak pengunjung yang berdatangan baik dari lokal maupun mancanegara. Ini seiring sejalan dengan tujuan awal yang Malioboro sebagai pusat perdagangan konsep tersebut dinilai berhasil. Para pedagang, pelaku seni banyak bertebaran di sekitaran Malioboro dan siap melayani siapapun yang datang ke lokasi tersebut. Di tengah dinamika perkembangannya, Malioboro berikut seluruh tuan rumahnya, telah membuktikan kreativitasnya yang menganggumkan dalam ‘menjual’ Jogja dan merangsang datangnya para pelancong.
Seperti diakui Hendi, PKL yang menjual pernak pernik titan, Malioboro telah menghidupinya selama ini. Sejak masih sekolah 7 tahun lalu, ia telah mulai berjualan di Malioboro, dan tidak merasa kesulitan sama sekali untuk membayar biaya-biaya sekolahnya. Malioboro telah menjadi bagian dari hidupnya, bahkan di beberapa sisi kehidupannya, Malioboro telah ikut meringankan beban hidupnya. Dengan pendapatan perhari rata-rata 400 ribu hingga hampir 1 juta pada saat ramai pembeli, Hendi banyak menggantungkan hidupnya di Malioboro.
Hal senada juga diamini oleh Sumarmi, PKL penjual konveksi yang sudah di Malioboro semenjak tahun 1960. Kaos-kaos yang bermotif khas Jogja menjadi daya tarik utama bagi para pelancong dari luar kota, sebuah cinderamata yang akan membanggakan pemakainya ketika di kampung halaman bahwa ia pernah tandang ke kota Gudheg ini.
Kreativitas dengan sejarah Malioboro yang kaya, mengundang ramainya para pedagang menggelar dagangannya. Ramainya para pedagang, mengundang ramainya para pelancong untuk berkunjung, berinteraksi dan akhirnya bertransaksi. Ramainya pelancong di sepanjang Malioboro, menggerakkan roda-roda becak dan andhong mengantarkan mereka ke sudut-sudut Yogakarta. Para tukang becak dan kusir andhong, pun merasakan getar kehidupan ekonomi yang bisa diandalkan.
Tukari (44) asal Kotagede adalah salah satunya. Berprofesi sebagai seorang tukang becak sejak 1992 ini juga tergabung menjadi anggota Paguyuban Becak Setiabudi, yang selama ini setia mengantarkan para pelancong ke tempat-tempat lain di seputar Jogjakarta. Meskipun becak yang dipakainya bukanlah becak miliknya, ia tetap berharap Malioboro masih akan terus mengundang para turis, baik mancanegara maupun domestik. Sudah cukuplah dengan penghasilan bersih rata-rata 30 sampai 50 ribu setiap harinya, karena ia mesti memberi uang setoran juga kepada Partodimejo, bosnya yang sekarang sudah memiliki 18 becak.
Daya tahan dan kreativitas untuk ‘menjual’ Jogjakarta juga dilakukan seorang tukang becak Hendro (42) asal Wonogiri. Anggota Paguyuban Becak Mutiara ini memiliki strategi, apabila tujuan penumpang jauh, dia meminjam motor untuk mengantar penumpangnya. Tentu, hal ini akan membawa pendapatan Hendro menjadi lebih baik.
Seorang kusir andhong yang bernama Suto Sentono (56), asal Bantul, juga demikian halnya. Kudanya yang bernama Sembodro, telah menjadi partner kerjanya semanjak tahun 1977. Bersama Malioboro, ia mendapatkan penghasilan 125 hingga 150 ribu rupiah per hari. Uniknya, walaupun peminatnya banyak tetapi dari kondisi kuda sendiri tidak bisa untuk memenuhi semua pelanggan, sehingga seramai apapun ia hanya akan mendapatkan pendapatan sekitar itu.
Pengelolaan kelompok andhong yang ada di Yogyakarta langsung di bawah pengaturan pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kebijakan-kabijakan pihak keraton sangat penting di dalam kerangka menyelamatkan dan melestarikan penggunaan alat transportasi yang erat dengan nilai budaya tersebut. Juga kebijakan mengenai jenis kuda yang boleh dipergunakan di Malioboro adalah kuda betina. Dengan penarik kuda betina, maka diharapkan tidak akan ada kotorannya yang mencemarkan lingkungan Malioboro; karena untuk buang air kecil bisa diarahkan dibandingkan dengan kuda jantan.
***
Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwa dibalik kemeriahan Malioboro, rupanya juga menyimpan pernaik-pernik persoalan yang lama-kelamaan menghantui kenyamanan dan daya tarik Malioboro. Rasanya, ada yang tertinggal dari perhatian pemerintah setempat untuk lebih mengembangkan Malioboro sebagai sebuah kawasan yang nyaman dan menyenangkan, sebagaimana slogan Malioboro sebagai kawasan “city walk”. Ada yang terlupa ketika transaksi perdagangan di sepanjang Malioboro makin ramai, tetapi tidak dibarengi dengan pelayanan kepada publik akan kebutuhan kenyamanan.
Satu contoh permasalahan yang jelas tertangkap oleh hampir semua pengunjung adalah betapa alur lalu lintas dan penataan parkir kendaraan bermotor yang semrawut. Hendi juga mengakui bahwa semrawutnya Malioboro akibat tidak tertatanya jalur-jalur kendaraan. Belum lagi dengan para pengendara yang memarkir kendaraan seenaknya, atau bahkan sengaja ‘melawan arus’ sehingga sangat mengganggu arus para pengunjung yang berjalan kaki.
Agak berbeda dengan Hendi, M. Rizal Mustofa justru tidak mendukung adanya penataan parkir. Ia sudah 3 tahun menjadi petugas parkir, dan sudah merasa nyaman dengan profesi tersebut. Akan tetapi barangkali, ia juga tidak merasa bahwa banyak pejalan kaki yang harus terpaksa berjalan meluber di jalan-jalan karena trotoar yang penuh dengan motor.
Apabila hal ini diteruskan, bukan tidak mungkin Malioboro semakin tidak nyaman lagi sebagai tempat thongkrongan. Mala, mahasiswi semester 5 di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta juga mengatakan bahwa kondisi parkir kendaraan bermotor terutama roda 2 cukup semrawut. Faktor keamanan dan kebebasan pejalan kaki cukup terhambat. Demikian juga diakui oleh Cika, semester 5 salah satu universitas di Semarang. Harapannya ada tempat khusus / basemen supaya trotoar lebih leluasa bagi pejalan kaki. Penghijauan di sekitar trotoar agar jalan di Malioboro lebih indah.
Menjamin kelanggengan Malioboro adalah keniscayaan, kalau kita semua memang menyadari bahwa Malioboro tidak hanya menjadi milik masyarakat dan Pemprov DIY, tetapi juga kebanggaan Indonesia. Kreatif dan berdaya tahan untuk ‘menjual’ Jogjakarta di Malioboro perlu diimbangi dengan kreativitas untuk memberikan kenyamanan bagi para tamunya. Tanpa adanya kesadaran untuk itu, tamu-tamu niscaya tidak akan betah berlama-lama di Malioboro. Adanya sikap tegas pemerintah untuk mengatur kembali tata kota di kawasan “city walk” Malioboro menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan. Kemudian upaya dan kebijakan untuk membuatan kantung-kantung parkir dan membebaskan area jalan / trotoar dan diperuntukan khusus bagi pejalan kaki.
Membeli Jogja di Malioboro bisa jadi sebuah ongkos yang murah dan menyenangkan, tetapi juga bisa jadi sebaliknya apabila Malioboro tidak memperhatikan kenyamanan tamu-tamunya. Semoga.***
__________________________________________________
Redaktur: Asa Jatmiko; Reporter: Putu Parnata, Masrien Lintang Safitri, Willy A.; Fotografer: Rudy Purnomo, Frederic Wijaya; Pengolah Data: Yudhi Artanto
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Tulisan investigatif hasil kerja rame-rame.....mengasyikkan!!
asyeeeeeek....!! Elanjuooot..!
Posting Komentar