Kamis, 27 Desember 2012

Bahasa Indonesia di Tangan Musisi Indonesia

Oleh. Asa Jatmiko


Bahasa menunjukan bangsa. Kita selalu menyebutnya demikian, manakala kita mulai mempertimbangkan bahasa sebagai bagian penting dari kehidupan dan dinamika sebuah masyarakat. Dalam aspek sosiologi, bahasa mengejawantah dalam tutur kata yang menyatu bersama kebudayaannya. Dia tidak semata-mata menjadi alat komunikasi, melainkan lebih dari itu, larut di dalam sendi kehidupan masyarakat itu sendiri. Dia tidak sekadar menjadi “penghubung/penyambung” sesuatu informasi, melainkan menjadi darah-daging dari kebudayaan, yang bersamanya pula bahasa menjadi hidup dan berkembang. Pada tingkat ini, bahasa tidak lain adalah ekspresi dari seseorang, kelompok, atau masyarakat itu sendiri. Pada setiap bidang kehidupan, bahasa memiliki ekspresinya masing-masing, untuk mewujudkan pemikiran dan gagasan.

Demikian pula dari aspek hukum, ekonomi dan politik, bahasa sesungguhnya merupakan pencitraan atas suatu pemikiran atau gagasan yang lebih nyata. Tentu saja, dengan caranya masing-masing. Keterwakilan ekspresi yang diampu oleh bahasa menjadikan bahasa bisa berkembang. Dan oleh karena pemakaian bahasa tersebut sudah sedemikian kompleks, ia dengan sendirinya pula memiliki persoalan-persoalan yang lebih kompleks, ketika di dalam bahasa mengandung tersirat nilai-nilai, makna dan pemaknaan. Bahasa memang memiliki energi besar untuk turut mengembangkan cara berpikir, berperilaku, menunjukan/menentukan sikap bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, setiap pemakai bahasa memiliki tanggung jawab tidak hanya terhadap pemikiran dan gagasannya, melainkan juga terhadap sisi moral, etika dan estetika.

Fungsi bahasa menjadi sangat penting, apabila kita mempertimbangkan kebudayaan. Karena tanpa bahasa, rangkaian aspek-aspek kehidupan akan terputus, dan bisa jadi akhirnya matilah kebudayaan itu.

Musik merupakan salah satu bahasa yang bersifat universal. Sebuah karya musik dapat diperdengarkan kepada siapapun di dunia ini dengan tidak mengenal batas-batas wilayah, ras, bahasa. Ia hanya membutuhkan indera dengar, selanjutnya adalah bagaimana penikmatannya. Melalui permainan nada-nada maupun tak bernada, dan komposisi ia sedemikian lentur mampu memasuki wilayah estetika selera seseorang.
Bahkan meskipun musik telah mempergunakan lirik sebagai penyampai pesan atau informasi yang lebih spesifik, sama sekali tidak mempengaruhi kemandirian karya musik untuk tetap bisa dinikmati oleh siapapun dimanapun. Tidak jarang sebuah karya musik tetap bisa dinikmati meskipun liriknya mempergunakan bahasa yang sulit atau tidak kita pahami. Begtulah, saya ingin menggambarkan betapa musik memiliki kekuatan untuk masuk dengan ‘jalannya sendiri’ secara merdeka kepada siapapun. Seperti diakui banyak ahli di dunia, bahwa musik mampu ‘mempengaruhi’ wilayah kejiwaan, mengasah kepekaan penikmatnya.

Bagaimana dengan lirik lagu berbahasa Indonesia dalam dunia musik Indonesia? Karena bahasa memiliki peranan penting dalam kebudayaan, dan musik memiliki kekuatan yang unik untuk mampu mempengaruhi kejiwaan dan pemikiran penikmatnya, maka penggunaan bahasa di dalam lirik-lirik lagu juga seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang penting. Sekitar tahun 2000, ada sepucuk surat pembaca di sebuah harian yang mengkritisi lirik lagu pada album grup band Slank waktu itu. Pada album tersebut (maaf, saya lupa judul albumnya), yang terbit sebelum para personel Slank “sembuh” dari sengatan narkoba, Slank menuliskan lirik-liriknya dengan begitu vulgar dan seronok. Si pengirim surat pembaca tadi ingin mengingatkan, bahwa lagu-lagu mereka yang dijual secara bebas, kemudian dibeli dan dinikmati oleh para penikmatnya, termasuk anak-anak dimana mereka belum pantas untuk menyerap lirik-liriknya.

Sekarang kita simak juga lagu dari band Wali yang berjudul Dik. Begini salah satu refrainnya: ku akan menjagamu, di bangun dan tidurku, di setiap mimpi dan nyataku. Terlepas enak dan tidaknya lagu tersebut dinikmati, nyatanya lagu tersebutlah yang belakangan ini menjadi salah satu lagu yang paling digemari oleh remaja kita. Kata “bangun” dalam lirik di atas, terdengar janggal, karena tidak selaras pemaknaannya dengan larik-larik berikutnya yang mempergunakan, seperti: mimpi – nyata, kemudian pada baris refrain berikutnya ada “hidup – mati”. Jika diteruskan, band Wali mempergunakan lawan-kata sebagai kekuatan lirik dalam lagu Dik. Sehingga dengan konsepnya sendiri, apabila Wali mempergunakan kata “tidur”, lawan katanya tentu saja bukan “bangun” melainkan “terjaga”. Barangkali bukan di (saat) bangun, melainkan di (saat) terjaga. Karena di dalam kaidah maupun pemakaian umum Bahasa Indonesia, kata yang mengikuti di, ke dan dari lazimnya adalah kata keterangan tempat/situasi, bukan kata kerja.

Saya masih percaya, bahwa pemakaian bahasa Indonesia yang baik tidak akan serta-merta membuat kita menjadi kaku. Ahmad Dhani banyak menelorkan lirik-lirik yang baik, penuh muatan filsafat, puitis, demikian juga membuat lagu-lagu cair dan sedikit ‘kemayu” seperti pada beberapa karyanya yang dinyanyikan oleh Mulan Jameela dan Dewi Dewi. Tetapi Ahmad Dhani tetap menjaga kualitas dan konteks kata-kata yang dipilihnya. Demikian juga dengan beberapa syair lagu dari musisi-musisi kita yang tidak hanya memperhitungkan musikalitas, melainkan juga mempertimbangkan bagaimana penggunaan bahasa Indonesia di dalam karya-karyanya. Di sinilah peran “pencipta” bahasa dalam lagu, puisi atau karya seni lainnya dalam berkreativitas.

Gejala penggunaan bahasa Indonesia di dalam dunia musik tanah air tidak hanya menyentuh soal ketepatan seorang musisi atau pencipta lagu dalam menentukan pilihan kata. Beberapa grup band malah sepertinya dengan sengaja mempergunakan bahasa-bahasa dengan tidak mempertimbangkan unsur pendidikan di dalamnya. Sekali lagi grup band Wali, misalnya, pada lagu Benci. Di sana ada lirik : “dasar kamu bajingan”. Payahnya, lirik tersebut dijadikan bait refrain, dimana Wali akan mengulang-ulang kalimat itu. Lebih banyak disbanding dengan isi atau tema lagu itu sendiri yang (hanya) mempersoalkan cinta sepasang kekasih. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan makna lirik tersebut kepada anak saya yang masih sekolah dasar, padahal anak saya (sangat) hapal dengan lagu tersebut. Saya tidak habis pikir, bagaimana musisi, pencipta lagu dan juga para produser rekaman menyetujui penggunaan kata-kata yang tidak mendidik itu, yang notabene mereka juga berharap akan dinikmati sebanyak mungkin khalayak?

Musik, menurut saya, sebagaimana karya seni lainnya, memiliki tanggungjawab moral terhadap kebudayaan sebuah bangsa. Terlebih lagi bahwa musik memiliki media khas yang mampu menembus relung hati, dari anak-anak hingga orang tua. Oleh karena betapa egoisnya ketika musisi kita bila mereka tidak memperhitungkan siapa nanti penikmatnya. Mereka semakin kaya dan terkenal (ngetop), dari hasil uang jajan anak-anak remaja kita.

Musik memperkembangkan bahasa. Bahasa menunjukan bangsa. Mari kita bermusik dengan mempergunakan bahasa sebagai alat ekspresi sekaligus kebanggaan dengan mempertimbangkan anak-anak bangsa.

Di bulan bahasa ini, semoga catatan tadi berguna bagi kita semua.

(diambil dari asajatmiko.blogspot.com)

Tidak ada komentar: