Oleh. Asa Jatmiko
SEPERTI BINTANG
Tak semudah katakata
Terkadang hidup begitu gelap terasa
Cahaya yang pijar di hatimu
Seperti bintang seperti bintang
Menuntun langkahku
Kembali rasakan hangatnya mentari
Dan indahnya kehidupan
Bila nanti aku terlupa
Ingatkan aku akan indahnya cinta
Agar hatiku pun bercahaya
Seperti bintang seperti bintang
Mengusir gelap
Seperti yang pernah kau katakan padaku:
Cinta itu menyelamatkan
Hatimu bercahaya seperti bintang
Hatimu penuh dengan cinta
Aku ingin sepertimu seperti bintang
Jalani hidup dengan sepenuh cinta.
-aj, 2013-
Malaikatku yang baik,
Sore ini aku ingin menulis tentang kekuatan hati. Sebagaimana yang seringkali kau bisikkan kepadaku, bahwa kehidupan terlalu banyak membuat kita lemah, tetapi satu hal yang harus kita ingat, adalah kita harus kuat menghadapi segalanya. Karena kita tidak bisa memilih, mana yang harus atau tidak harus menimpa kita. Kita juga tidak bisa menawar, apa yang bisa kita hadapi maupun hindar. Kita hanya diberi satu tugas, yakni untuk selalu kuat menghadapi kenyataan kehidupan ini.
Aku tahu, kau lebih banyak mengerti akan hal ini. Aku pun sebenarnya ragu, apakah yang aku ungkapkan ini mampu menghiburmu, karena aku melihatmu sebagai sosok yang matang dan dewasa. Lengkap. Bahkan aku pun akan berkata, "Tuhan sendiri begitu mencintaimu".
Malaikatku yang baik,
Apakah yang membuat kita kadang-kadang menjadi seorang manusia yang lemah, sehingga kita menjadi manusia yang suka marah, tidak bisa bersabar, gengsi demi menutupi kekurangan, dan semacamnya. Aku hanya melihat, bahwa manusia tidak bisa untuk hidup sendiri dalam waktu yang lama. Bahkan, di setiap waktu, ia ingin bersosialisasi, ingin berbagi, ingin ditemani dan ingin perhatian. Ini semua, menurutku, gejala yang positif dan normal-normal saja. Tidak ada yang aneh.
Aku pernah dikecewakan oleh seorang anak buahku dengan sikapnya "sak karepe dhewe" dalam bekerja. Beberapa kali sudah aku peringatkan, bahkan sampai pernah aku memanggilnya untuk dia menuliskan surat pernyataan bahwa ia bisa bekerja dengan baik. Dan pada suatu ketika kesalahan yang sudah beberapa kali itu, ia lakukan kembali, aku mengatakan kepadanya, "ya, sudah. Kalau kamu bekerja sak karepmu dhewe terus, maka aku juga akan mengatakan sak karepmu. Terserah. Apapun yang kamu lakukan, saya tidak mau tahu, terserah kamu. Kamu mau rajin atau suka bolos, kamu akan bekerja baik atau buruk, aku tidak ada urusan lagi. Sekali lagi, terserah."
Tetapi rupanya, Malaikatku, kalau orang dibiarkan dengan kemerdekaannya, orang tersebut justru merasa tidak merdeka lagi. Ia justru kebingungan dan tidak tenang saat bekerja. Ia kelimpungan sendiri, ketika segala aturan sudah dilepaskan darinya. Berjalan tanpa kendali, berputar di jalan yang sama. Hingga akhirnya ia datang kepadaku lagi, dan minta mengundurkan diri.
Siapa yang kejam di sini, menurutmu? Aku, ya kan? Begitu pula yang aku rasakan saat itu. Betapa aku telah melemparkan seorang anak manusia ke dalam satu situasi yang gelap dan tidak berpedoman. Orang yang menghukum dirinya sendiri dengan minta mengundurkan diri karena tidak betah dengan "pembiaran" yang aku lakukan, bisa jadi akan menyadarkannya bahwa hidup dan bekerja, berdampingan dengan orang lain memang membutuhkan kekuatan dan kesabaran, juga pengertian-pengertian. Tetapi, aku sendiri, menurutku ini sebuah tindakan kejam yang tidak termaafkan.
Di situ aku menyadari bahwa aku nyatanya selalu membutuhkan orang lain. Siapapun itu. Terlebih, kamu malaikatku. Aku selalu membutuhkanmu setiap waktu, seperti gelisah doa-doa yang kupanjatkan, seperti kebutuhan untuk bernafas. Ialah untuk saling menguatkan dan saling menyelamatkan.***
-aj-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar