Rabu, 09 Januari 2013

Membumikan Idealisme di Padang Pragmatisme

Oleh. Asa Jatmiko


Setiap darah mahasiswa sudah seharusnya memiliki idealisme. Bahkan setinggi-tingginya. Sebagai insan yang hadir dengan membawa energi dan pemikiran baru, seharusnyalah dari situ, memunculkan pemikiran-pemikiran idealimenya bagi masyarakatnya. Jika tidak demikian, untuk apa mengenal dan memahami banyak ilmu pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru. Di situlah perannya sebagai agen perubahan menjadi sangat diniscayakan.

Sebaliknya, pragmatisme yang melanda banyak pemikiran di batok kepala anak-anak bangsa sekarang, merupakan sikap yang perlu mendapatkan pemahaman baru. Tingkat pragmatisme yang tetap diluruskan, diseiringkan, diarahkan kepada cita-cita idealisme yang ada. Pragmatisme bukanlah sikap negatif, apabila kita memanfaatkannya sebagai parang untuk membabat persoalan kritis pada hari ini. Dan hal tersebut akan semakin baik ketika pragmatisme menjadi sikap yang tidak berlawanan arah atau bahkan menciderai cita-cita idealisme.

Johan Silalahi yang juga seorang pendiri sekaligus direktur Negarawan Center memulai paparan diskusinya di hadapan para mahasiswa penerima bea siswa dari sebuah perusahaan swasta, dengan mengatakan welcome to the jungle. Inilah saatnya kalian akan mengalami kenyataan kehidupan, dimana kegagalan, kesedihan, kesakitan, kesulitan yang luar biasa dalam hidup akan dialami. Tetapi yang ingin saya sampaikan kepada kalian, jangan sesekali kalian menyerah, katanya. Johan kemudian mencontohkan bagaimana perjuangan Abraham Lincoln, yang di banyak bagian hidupnya penuh dengan kegagalan, bahkan hampir di sepanjang hidupnya diwarnai kegagalan, bahkan ia sempat masuk rumah sakit jiwa. Tetapi ia tak pernah menyerah dan bahkan berhasil menjadi seorang presiden Amerika Serikat ke-16 pada saat ia berusia 51 tahun.

Pantang menyerah adalah perilaku utama orang-orang sukses. Itu terjadi untuk siapapun orangnya dan dimana pun ia berada. Dan pada kenyataannya pula, semua orang mempunyai rasa takut. Pendiri Negarawan Center ini mengilustrasikan bagaimana rasa takut itu muncul ketika kita sedang berada dalam kegelapan. Tetapi seorang pemberani, lanjutnya, adalah orang yang dalam ketakutan atau kegelapan itu, secara perlahan-lahan berusaha bangkit dan kemudian terus maju. Dan karena keberanian pula, saya yakin, yang telah mengantarkan kalian ke ruangan ini menjadi seorang penerima bea siswa. Jadi beruntung sekali buat saya kalau malam ini saya berhadapan dengan calon-calon negarawan seperti kalian.

Dan untuk menjadi seorang negarawan tidak selalu harus menjadi seorang pejabat publik, menteri, presiden, dan sebagainya. Kita cukup mempersiapkan diri sebaik mungkin dan bekerja sesuai profesi masing-masing. Bidang apapun yang dipilih. Profesi apapun yang dilakukan. Mungkin bagi orang-orang kaya akan mudah mewariskan kekayaan kepada penerusnya, tetapi persoalan kebangsaan adalah bagaimana mewariskan lingkungan bangsa yang baik kepada penerusnya. Dan generasi muda inilah yang niscaya akan menjadi perekatnya. Masalah-masalah sebuah bangsa, termasuk Indonesia, bukan hanya persoalan pemimpin. Tetapi kompleks di segala sektor kehidupan. Maka, kalianlah yang mengisi dan menjadi agen perubahan ke arah lebih baik itu.

Sementara itu Ngatawi Al-Zastrouw dalam diskusi itu menguraikan gagasannya dari sisi kebudayaan. Pemimpin Ki Ageng Ganjur ini membuka uraiannya dengan mengatakan bahwa bersama para beswan dia melihat indahnya tamansari. Ada Aceh, ada Madura, ada Papua, ada Minang, ada Jawa, ada Ambon, beraneka seperti keberagaman yang indah dalam sebuah tamansari Indonesia, katanya. Dan Tamansari akan lebih indah jika di sana ada mawar, ada melati, ada kenanga dan kamboja. Lalu lanjutnya, tugas saya di sini bukan untuk merubah mawar menjadi melati, merubah kenanga menjadi kamboja. Bukan itu tugas seorang manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang mampu dan berkuasa merubahnya. Tetapi tugas kita adalah menata dan menghidupi bagaimana mawar melati kenanga dan kamboja bisa hidup berdampingan dengan indah. Bisa berkembang sebanyak-banyaknya sehingga keindahannya bisa berguna bagi seluruh semesta.

Zastrouw juga menceritakan bagaimana tokoh-tokoh bangsa ini telah menampilkan contoh-contoh perilaku negarawan. Salah satu ciri negarawan adalah dia tidak pernah tersekat-sekat oleh apapun. Mereka mampu menembus dimensi-dimensi kehidupan yang lebih luas. Dan mereka telah membuktikannya kepada kita semua, menjadikan bangsa kita besar seperti sekarang ini. Nah, saya percaya bahwa kalian semua juga akan mampu menjadi seorang negarawan dan akan mampu memimpin negara ini menjadi lebih baik. Mengapa? Jawabannya jelas, bahwa keadaannya tidak seberat apa yang dialami oleh para pendahulu kita. Jaman sekarang sudah lebih enak dan lebih mudah. Semua serba ada. Tinggal bagaimana komitmen dan semangat kita untuk mencapai itu.

Ada dua modal untuk menjadi negarawan, menurutnya. Pertama, kenali Tradisi atau akar budaya. Yang kedua, kenali sejarah. Ketika kita sudah mampu untuk menyadari keberadaan tradisi dan sejaran, kita akan mampu menjadi seorang negarawan. Maka ketika Soekarno, Soepomo misalnya belajar di Eropa. Belajar konsep-konsep ekonomi Eropa, ketatanegaraan Eropa atau kedokteran Eropa, tetapi ketika pulang ke Indonesia, mereka tetap membangun negara ini dengan konsep-konsep Indonesia. Sjahrir, Supomo, Hatta adalah contoh-contoh negarawan yang tetap mempertahankan nilai-nilai keindonesiaan. Hatta, belajar ilmu ekonomi di luar negeri, tetapi ketika di Indonesia dia membangun konsep ekonomi kerakyatan Indonesia. Mereka tetap menjadi orang Indonesia, meskipun mengenyam pendidikan Barat. Kesadaran mereka akan akar tradisi dan sejarah tidak akan membuat kita menjadi orang asing di negeri sendiri. Tetapi justru akan mengembangkan keindonesiaan kita menjadi lebih baik, ujarnya.

Dengan demikian, kiranya menjadi cukup jelas bagaimana kita menjadikan idealisme dan pragmatisme sebagai sikap-sikap yang menguntungkan bagi perkembangan kemanusiaan. Cita-cita yang tinggi yang dimiliki oleh Wright Bersaudara, yang mana orang-orang sekelilingnya yang menyebutnya sebagai sebuah kegilaan, tidak akan mengantar kita pada dunia sekarang ini, dan menjadi alat transportasi massal penting abad ini. Idealisme memang mestinya tidak tergerus oleh arus jaman yang pragmatis, tetapi justru membumikannya, agar sikap pragmatisme sebisa mungkin diarahkan kepada idealisme.

Apa yang menjadi kenyataan hari ini, tidak salah jika kita menghadapinya dengan sikap pragmatis. Akan tetapi tentu akan menjadi lain, jika di dalam pragmatisme itu tetap memandang idealisme sebagai satu cita-cita yang harus diraihnya. Dengan mengenal akar tradisi, budaya dan juga teknologi, mahasiswa sekarang sangat mungkin untuk menegakkan idealisme, dengan tiang sandaran pragmatisme.

Ketika seorang mahasiswa yang telah lulus kuliah tidak jua mendapat pekerjaan dalam waktu tertentu, tentu ia harus segera bersikap pragmatis; mencari pekerjaan secepatnya. Akan tetapi pada diri mahasiswa yang mengelola idealismenya hidup di dalam jiwanya, pekerjaan yang dilakukannya saat ini, bahkan pada pekerjaan/profesi yang bukan keahliannya sekali pun, tetap akan membawa pekerjaannya saat ini sebagai media kreatif, untuk melanjutkannya mencapai idealisme.

Meski kuliah dan mendapat ilmu-ilmu dari luar negeri, para Bapak Bangsa tetap kembali ke Indonesia dan membangun idealismenya yang sangat Indonesia. Meskipun apa yang dilakukannya bukanlah merupakan profesi ideal menurut keilmuannya, justru banyak para tokoh menjalankan "pekerjaan hari ini" dengan tetap (di dalam jiwanya) terus berusaha mengejar idealismenya.

Salam.***

Tidak ada komentar: