Matahari pelan mendengkur bersiap bangkit
Kemenangan dan kemenangan kemarin
belumlah kemenangan yang sempurna.
Angin yang masih basah karena airmata rumputan
masih menggelayut, enggan pergi, merajuk di ketiak daunan
“Kita sudahi saja kesedihan ini,” bisik sebatang ranting
seolah tak ingin larut dan terperosok di palung hening
lagi ia berbisik, “enyahlah airmata!”
kata ranting lainnya, “sebelum datang kekalahan berikutnya!”
dan sunyi membungkus perbicangan
semua tahu kekalahan tadi siang teramat menyakitkan.
Tak akan ada yang kita sisakan sedikit pun
Semua kita tanggalkan bersamaan detik yang mengerjap
Bahkan keindahan yang baru saja tercipta
Bahkan kebaikan yang baru saja kita terima
Bahkan prestasi yang baru saja kita raih
Lepas saja, sebagaimana daun tanggal dari ranting
Seperti saat menghirup udara dan menghembuskannya
Menerima dan kehilangan sebagai kewajaran biasa.
Lalu langit merengkuh mereka, sebab tak lagi terdengar suara
Seperti degup jantung yang tak terdengar degupnya
tapi kita meyakininya: ada.
“Itu mendung!” teriak kuncup bunga.
Mendung terakhir di hari yang beranjak tua.
Dan setelah petir, langit berkata;
“Kemarin hari ini dan esok pun aku masih sama.
Yang tua, yang tetap saja mau merengkuh kalian semua.
Tapi kalian?! Sadarkah kalian saat tumbuh dan berangsur dewasa?”
Semua menggeleng.
“Ada yang tetap, seperti aku seperti cinta seperti keabadian.
Ada yang berubah, seperti kalian seperti raga seperti hati dan pikiran.
Menjadi lebih baik di hari depan adalah kemenangan yang sempurna!”
Setelah itu langit kelabu oleh hujan.
Kudus, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar