Sabtu, 28 September 2013

Menelusuri Cengkeh, Catatan Perjalanan (3)

040913, Manado

Pagi ini kami akan memulai kegiatan pada jam 9, dengan agenda: pengambilan gambar di kebun cengkeh HPI di Minahasa.

Pak Edi Mulyo, accounting departement head dari Hartono Plantation Indonesia (HPI). Sudah siap di tempat parkir. Ia tidak bisa menemui kami di lobby hotel karena parkiran penuh.

Seperti hari kemarin, jarak yang jauh dengan jalan naik dan penuh kelok, kami menuju perkebunan cengkeh HPI di Minahasa dalam waktu lebih dari 2 jam.

Hari ini aku lebih bisa menikmati perjalanan ketimbang sebelumnya. Keluar dari Tomohon, setelah membeli beberapa minuman botol dan kaleng, juga vitamin, kami memasuki Perkampungan Minahasa yang masih asli.

Rumah-rumah panggung tertata rapi di kanan-kiri jalan yang kami lalui. Jalan beraspal yang tak begitu lebar namun mulus, mengiringkan kami menyusuri kampung Minahasa dengan bangunan-bangunan gereja di sana-sini. Di ujung jalan, di sudut kelokan, gereja dengan berbagai bentuk arsitektur yang megah. Ah, Manado, kota bunga dengan sejuta gereja. Di tengah kota bahkan lebih mempesona, gereja dibangun megah melebihi kantor walikota.

Mendekati jam 12 kami memasuki kampung dalam Minahasa yang ada di pegunungan. Rumah-rumah panggung yang berbahan kayu beratap seng, terlihat di gigir-gigir bukit. Jalanan tak lagi mulus, penuh "gejolak" dan mendaki. Sesekali kami melewati hutan cengkeh yang ramai dengan kicau burung dan ocehan serangga.

Di sebuah puncaknya, kami berhenti. Aku mengambil gambar sebuah pohon cengkeh induk yang subur dan rimbun. "Cengkeh dari pohon induk ini, yang kita jadikan bibit," kata Edi Mulyo.

Dua kilometer berikutnya, kami sampai di markas HPI. Sebuah rumah rusak, seperti akibat terbakar, menyambut kedatangan kami. Kemudian satu rumah lagi, seperti banguna baru, ada di lereng di bawahnya. Seorang kepala perkebunan HPI menyalami kami, lalu mengajaknya turun.

Ada 7 orang laki-laki dan 6 orang perempuan di bawah, sepertinya telah menunggu kedatangan kami. "Mereka adalah staf kami yang ada di sini, yang akan membantu kegiatan kita hari ini," terang Mulyo. Yang laki-laki berseragam warna abu-abu cerah, berkalung ID Card warna hijau. Sementara para perempuan berseragam kaos warna merah jambu.

Setelah kami saling bertegur sapa dan mengutarakan maksud kedatangan kami hari ini, kami kemudian mulai melakukan pengambilan gambar. Penjelasan mengenai pemilihan dan pemeliharaan bibit di lahan pembibitan cengkeh, proses penanaman cengkeh dan cara pendangiran atau penyiangan rumput pada tahap pemeliharaan tanaman.

Sesi terakhir kami melakukan wawancara dengan salah seorang petani. Bagaimana cara penanggulangan penyakit tanaman akibat ulat penggerek batang, melalui cara tradisional dan kimia.

"Pantangan kami memegang batang pohon cengkeh pada usia bulan muda. Karena pasti akan mengundang ulat dan merusak tanaman," kata Henri, seorang petani. Bulan muda, artinya minggu awal sejak bulan tidak terlihat. Apa hubungan sentuhan tangan ke pohon dengan datangnya ulat, kami belum menemukannya secara masuk akal, bahkan setelah kami bicarakan di gazebo seusai pengambilan gambar.

Panen cengkeh dilakukan setahun sekali. Tetapi panen raya, hanya ada setiap 4 tahun sekali. "Pada tahun ke-4, sepanjang tahun tersebut lebih banyak matahari. Hujan sangat sedikit. Saat itu, cengkeh akan panen raya," ujarnya.

Cengkeh, sepertinya punya sikap yang hampir sama dengan tembakau. Ia akan menghasilkan panenan bagus jika banyak panas. Di musim-musim penghujan, panenan cengkeh tidak selebat musim kemarau. Tidak begitu jelas varietas cengkeh apa yang ditanam dan kembangkan oleh HPI. Tetapi kebanyakan petani akan mengatakan bahwa cengkehnya merupakan cengkeh Sansibar, cengkeh dengan kualitas terbaik. "Belum ada yang mempermasalahkan soal varietas," kata Mulyo. Tidak seperti tembakau.

Kami kemudian melepas lelah di gazebo, di samping lahan pembibitan. Mereka telah memanjat pohon kelapa, dan memetik beberapa kelapa muda, yang kemudian disuguhkan kepada kami. Satu sisir pisang masak pohon yang gemuk-gemuk, berwarna kuning menggairahkan. Aku menikmati hampir setengah air kelapa muda dan memakan isinya yang segar, lalu melahap satu buah pisang yang manis.

Kami mengakhiri kegiatan di tempat itu, setelah aku mengambil foto bersama, mereka semua. Lalu kami kembali naik setinggi 14-an meter dengan anak tangga tanah yang menurutku tak jua habis. Di tempat parkir mobil, sebuah rumah terbakar yang menyimpan misteri, menunggui mobil kami dan kembali menyapa ketika kami kembali.

"Rumah itu dibakar oleh salah seorang staf kami yang marah karena kami PHK," jelas Mulyo. Itulah kenapa kemudian kepala perkebunan diambil dari orang setempat. "Dengan orang setempat, warga dan para pekerja akan lebih nyaman saling bekerjasama," tambahnya.

Melewati acara makan siang. Jam sudah menuju angka 3, kami sudah hampir memasuki kota Manado. Lalu di depan restoran Sineleyang, kami berbelok masuk. Makan kali ini adalah makan siang sekaligus makan malam, pikirku. Di sini, aku sempat berbicang denganmu, dengan nada bicaramu yang tak nyaman. Katamu, di dekatmu sedang ada orang, kemudian juga lalu-lalang.

Dari restoran, kami menuju rumah Koh Shiong Hoo. Aku kembali melengkapi gambar sebelumnya, yakni kegiatan pengayakan. Ialah pembersihan cengkeh dari daun, gagang dan debu. (Aku jadi teringat proses dust colector di primary krapyak). Koh Shiong Hoo mempekerjakan beberapa karyawan untuk mengoperasikan mesin ayak tersebut, untuk kemudian dimasukan ke dalam sak-sak. Siap dikirimkan ke gudang pembelian Djarum.

Begitulah, sampai jam 7 malam, aku kembali ke Swiss-Bel Hotel Maleosan.

-aj-

1 komentar:

Unknown mengatakan...

asyeeeek....!