Jumat, 01 Maret 2013

#3 - Semakin Dalam

Dear Malaikatku,

Apa yang kamu harapkan dari membaca tulisanku kali ini? Ingin mendengar keluh-kesahku, atau ingin mengetahui bagaimana aku bergerak dari waktu ke waktu, atau penasaran dengan apa yang aku pikirkan dan rasakan saat ini atau sekedar membaca untuk membunuh waktu? Aku tidak tahu, apa harapanmu yang sesungguhnya. Tetapi, aku mengakui, semua kata-kata yang ada di sini menuju dan berpusat padamu.

Awal tahun 1996 sampai hampir setahun, aku berkelana ke Jakarta. Kerja di sebuah developer, PT. Grha Realty Kencana, yang berpusat di Jl. Cikini Raya. Sementara, setiap hari aku kerja dan tidur di dalam kantor cabangnya, di Jl. Letjend Suprapto 50, Cempaka Putih. Di situ aku kerja di kantor, sebagai entah. Kadang diperlakukan sebagai office-boy, kadang dipercaya mengurus surat-surat administratif kantor, kadang ikut mempersiapkan pameran real-estate. Ya, aku kerja di tempat itu sepanjang siang, sementara malam hari tempat itu menjadi rumahku. Dimana aku tidur, sesukanya. Kadang di sofa ruang tamu, kadang di lantai dengan selembar tikar, kadang tidur di papan meja yang luas seperti meja pingpong. Dan di setiap malam, bising suara nyamuk yang bermigrasi dari selokan-selokan Jakarta yang kotor dan bau itu, setia menemaniku. Tapi lebih tepatnya, menggangguku.

Dalam perjalanan waktu, aku malah semakin asyik bermain ke Taman Ismail Marzuki. Entah untuk ngobrol dengan teman, atau menonton pertunjukan. Juga menggagas beberapa acara sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Hanya beberapa kali aku main ke Senen, bertemu dengan teman-teman seniman di sana. Tetapi kemudian aku juga banyak pergi ke Ciputat, Tangerang dan kota-kota sekitar Jakarta. Hampir setiap malam, aku pergi. Maka hampir setiap hari kerja, aku diliputi rasa kantuk dan malas yang luar biasa. Aku semakin bersemangat untuk menulis puisi, membaca puisi dan mengirimkan ke koran-koran. Sementara itu pula, aku semakin tenggelam sebagai manusia pekerja yang tidak produktif di mata Boss. Di belakang kantorku, tempat dimana Boss-ku membangun Gedung Ruko Sentral Cempaka Putih, terapit Gereja Kristus Raja dan Pasar Cempaka Putih, aku sering berteriak-teriak di atas gedung, membaca puisi-puisi. Para buruh bangunan menyaksikanku dari jauh, beberapa ada yang antusias menikmati. Tetapi, aku melakukannya karena ingin berteriak: mana kebebasanku!

Aku tidak tahu, bahwa kepergianku dari Jogja ke Jakarta waktu itu merupakan rangkaian dari sebuah rencana. Entah rencana siapa. Beberapa bulan kemudian, di sela-sela acara sastra di Ciputat, aku bertemu dan berbicara banyak dengan seorang lelaki tua. Aku lupa bagaimana ujung pangkalnya kami berbincang, tetapi ada beberapa momentum dan perkataannya yang kuingat hingga saat ini. katanya, di dalam diriku ada seorang perempuan yang selalu setia bersamaku dan memperlakukanku sebagaimana suaminya. Dia adalah seorang putri kerajaan yang patah hati karena akan dijodohkan oleh orangtuanya. Dan karena itu, ia terputus dengan kekasihnya. Dengan menerjunkan diri dari sebuah bukit terjal.

Aku meninggalkan Jakarta sebelum kerusuhan Mei 1997. Naik kereta, pulang ke Jogja: tanpa uang, kecuali sebuah mobil-mobilan kecil untuk anakku.

Perempuan itu telah lama bersamaku, katanya padaku, tanpa pernah aku sadari. Tetapi kehadirannya-lah yang selama ini mendorong lahirnya tulisan-tulisanku. Dia selalu menemani di sudut ruangan, manakala aku mengetik, dan hingga fajar tiba. Ketika hatinya diliputi kebahagiaan, maka aroma wangi semerbak di ruanganku. Tetapi hanya aku yang bisa mencium aroma itu. Demikian juga, ketika ia marah padaku, aku seperti diberi tanda olehnya agar aku memikirkan kembali apa yang akan aku kerjakan, apa yang akan aku katakan.

Sekarang aku semakin menyadari, apa keterkaitannya antara aku dan dia. Ialah soal cinta sejati. Dia menerima dan menemani hatiku yang remuk, dalam persahabatan yang sembunyi-sembunyi. Aku, dari waktu ke waktu, seolah semakin diajari untuk mengerti dia, mengakui keberadaan dan cintanya, dalam sebuah sikap batin yang terus-menerus mesti dijaga. Malaikatku, aku akan menceritakan semua itu kepadamu suatu saat ketika kau menanyakannya. Tentang asal-usulnya, namanya dan cintanya kepadaku. Aku kadang tidak ingin percaya. Tetapi tidak satu, dua, tiga, empat, lima orang yang memiliki penglihatan, menceritakan hal yang sama, ketika istriku menanyakannya kepada mereka, di waktu dan tempat yang berbeda.

Itu tadi kisah cintaku, yang barangkali amat naif. Tetapi aku telah mengalami dan menjalaninya sampai hari ini. Maka, ketika kamu hadir begitu kuat saat ini di kehidupanku, dan aku menanyakan kepadanya tentang dirimu, dia tidak marah apalagi cemburu, ketika itu juga aku menganggapmu sebagai malaikatku. Sesuatu yang membawa kebaikan buat diriku. Sesuatu yang akan menjernihkan air telaga cintaku. Sesuatu yang juga akan membawaku untuk mengenal kehidupan lebih dalam lagi sekaligus indah dan tanpa kebencian.


Malaikatku yang baik,
Aku tidak pernah betul-betul tahu, karena aku juga manusia lumrah sebagaimana yang lain, akan isi hatimu. Apakah semua hal tentang "mengasihiku" (ini ucapanmu) adalah sebuah tindakan yang tidak akan melukai dirimu sendiri. Dengan mengorbankan sebagian besar waktumu, dengan menyisihkan sebagian konsentrasimu kepada perkembangan jiwaku. Aku sama sekali tidak meragukannya. Hanya saja, apakah ini, sekali lagi, kelak tidak akan melukai hatimu sendiri. Karena aku begitu menyukainya.

Semakin mengenalmu, semakin dalam aku tenggelam di telagamu.***-aj-

5 komentar:

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

woowww...putri kerajaan..?!
Kerajaan ngendi mas..?

Mungkin mas asa titisan kekasihnya putri kerajaan.

Unknown mengatakan...

pulang tanpa uang, kecuali mobil mobilan kecil untuk anakku.

Hmm...ternyata anak memang segalanya.

Asa Jatmiko mengatakan...

Wkwkwk.....

Unknown mengatakan...

iso dadi dukun iki...