Sabtu, 05 Januari 2013

Batik, Warisan dan Identitas Budaya yang Kian Trendi

Oleh. Asa Jatmiko




Kesan Pertama Tua dan Kuno
Kesan pertama saya pada semua hal yang menyangkut batik adalah tua dan kuno. Kalau saya melihat ke belakang, keakraban saya dengan dengan batik belumlah terlalu lama. Baru beberapa tahun yang lalu. Hal ini barangkali disebabkan oleh pencitraan batik yang selama ini saya kenal, di antaranya dari orang tua saya dan orang-orang tua di lingkungan saya. Mereka memang identik dengan batik, terlebih ketika akan menghadiri sebuah perayaan atau upacara adat tertentu seperti: pernikahan, berkunjung ke tetangga atau saudara hingga pertemuan-pertemuan formal di lingkungan keluarahan atau desa, kecamatan, sekolah, dan semacamnya.

Batik itu tua dan kuno, karena setahu saya pada mulanya batik lekat dengan mereka para orang tua. Sementara saya, tidak ingin melabeli diri sebagai seorang yang tua dan kuno. Maka ketika datang sebuah keharusan untuk memakai batik untuk sebuah acara keluarga, suatu ketika oleh istri saya, saya menolaknya. Saya masih muda, atau paling tidak ingin menunjukan jiwa saya muda. Bagaimana jika saya memakai batik, kemudian tampak sebagai orang yang tua dan kuno?! Ah, sangat bertentangan dengan jiwa saya.

Saya berasal dari keluarga biasa saja, yang juga hidupnya sederhana saja. Batik bagi keluarga kami, waktu itu, masih menjadi barang yang mewah dan menunjukan kelas. Oleh karena itu, barangkali, yang membuat saya tidak memiliki keakraban yang istimewa dengan batik. Sekaligus melahirkan pandangan di dalam benak saya, bahwa batik itu sebuah produk tradisi yang memang benar-benar sudah ketinggalan jaman. Ia menjadi barang antik, sebagaimana keris misalnya, atau blangkon, surjan dan semacamnya.

Semenjak kecil, menjadi pelajar hingga mahasiswa, apa yang ada dalam batok kepala saya adalah keinginan untuk tampil modis dan trendi di hadapan kawan-kawan. Dan betapa membanggakan ketika kawan-kawan saya menyebut diri saya seorang yang tidak ketinggalan jaman, dengan memakai baju atau pakaian yang kebarat-baratan. Celana jeans, kalau perlu celana jeans yang robek-robek. Pakaian dan kaos yang keren dari Gucci, Prada, Armani dan semacamnya. Meskipun merek yang terpampang sama sekali tidak ada jaminan terhadap keaslian, karena usut punya usut pakaian-pakaian yang saya pakai tersebut adalah produk teman-teman kreatif di Bandung dan Jogja, tetapi itu pun sudah cukup untuk mensahkan diri sebagai laki-laki yang keren, modis dan trendi.


Di Jogja Kami Berkenalan
Jogja, telah menjadi kota yang memper- kenalkan saya dengan batik. Kota itu tidak hanya menjadi tempat saya mencari ilmu di bangku kuliah, menemukan kekasih di belakang panggung teater dan menjodohkan kami di bawah pohon Belimbing (karena di situlah kami mendapat bimbingan hidup). Jogja buat saya juga telah menjadi kota yang membuka mata saya untuk melihat bagaimana kain-kain lenan putih itu dilukis indah, kemudian ditimpa dengan cairan malam yang aroma asapnya bagai dupa doa yang mengudara menyentuh surga.

Lalu hari berikutnya kain-kain itu telah penuh warna, melambai-lambai di tali jemuran, seperti kibaran bunga-bunga di tamansari. Sementara di bilik yang sunyi, tiga hingga empat perempuan masih duduk terpekur, dengan kain dipangkuan, tangan kanannya memegang canting, kembali menciptakan keindahan untuk hari berikutnya. Ya, begitulah saya mengenali batik pada awalnya, di kampung Tamansari, sebuah kampung yang berada di dalam lingkaran benteng Keraton Jogjakarta.


Kenali Batik
Kata batik berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik".

Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga pada masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.

Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7.
Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (sejarawan Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuna membuat batik.

G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.

Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman. Dan akhirnya, sejak 02 Oktober 2009, UNESCO telah menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).


Lalu Cintanya tak Terbendung
Semenjak agak mengenal seluk-beluk batik, saya mulai mencintainya. Rasa cinta itu semakin terasa kian menggebu, manakala menyadari bahwa batik merupakan karya kebanggaan 'kampung halaman' kita, yang bernama Indonesia. Batik tidak hanya menjadi sekedar karya seni yang indah, dengan berbagai nilai yang terkandung di dalamnya. Melainkan juga telah menjadi bagian dari identitas kita sebagai sebuah bangsa, Indonesia.

Sudah hampir dua dekade terakhir, batik berkembang dengan pesatnya. Bahkan semakin melesat sebagai industri yang dapat diandalkan, ketika seluruh dunia, melalui UNESCO, meligitimasi batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non bendawi dari Indonesia. Berawal dari motif dan corak tertentu, kemudian berkembang motif dan coraknya dengan varian yang lebih banyak sekaligus menarik. Motif-motif baru itu pun merangsang para seniman dan pengrajin batik untuk menumpahkan ide kreatif dan gagasannya ke dalam motif-motif batik temuannya. Semua ide kreatif dieksplorasi untuk memenuhi dan mengikuti kebutuhan pasar, dengan tetap nguri-uri keindahan batik.

Dengan makin ramainya industri batik di Tanah Air, secara otomatis akan membawa iklim kondusif bagi majunya perekonomian rakyat. Para seniman dan pengrajin batik, selain semakin dituntut makin kreatif, juga akan semakin mendapatkan angin segar akan meningkatnya kesejahteraan ekonomi mereka. Bahkan saat ini, tidak hanya kota-kota seperti: Jogjakarta, Pekalongan, Solo dan kota-kota lain penghasil batik yang turut berkembang. Gairah industri batik juga terasa di berbagai kota di seluruh Indonesia, seperti: Kudus, Jember, Cirebon, bahkan beberapa kota di luar Jawa.

Kalau sudah sedemikian pesat perkem- bangannya, sekarang apa yang perlu saya pikirkan lagi untuk tidak memilih batik sebagai sandangan saya? Dengan berbagai motif yang bisa saya pilih sesuai selera jiwa muda saya, dengan berbagai desain yang bisa saya ambil sesuai dengan gaya penampilan saya yang berjiwa muda, saya bisa berbatik kemanapun dan dimanapun.
Rasanya cinta saya sama batik semakin tak terbendung euy. Bahkan saya mengajak semua anak-buah saya di pabrik untuk memiliki batik, memakainya pada setiap hari Jum'at. Bahkan di beberapa kesempatan ketika kawan-kawan saya dari luar negeri datang berkunjung, kami dengan bangga memamerkan batik.


Saatnya Berbatik
Dengan perlengkapan alat batik tulis yang unik, seperti: soga, lerak, canting, malam, akar wangi maupun yang sudah mempergunakan peralatan modern dengan batik cetak, kemudian dukungan dunia internasional akan kehadiran batik dalam khasanah sandang dunia, rasa-rasanya tidak ada alasan lain lagi bagi kita untuk mengembangkan batik, sebagai warisan budaya dan identitas bangsa. Semua berhak berkembang dan perlu mendapat dukungan.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh Ibu Ani Yudhoyono dalam sambutannya di Pekalongan pada Hari Batik Nasional yang jatuh pada 02 oktober 2011 yang lalu, bahwa batik adalah ekspresi budaya yang memiliki makna simbolis yang unik dan nilai estetika yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Keunikan yang indah itu merupakan salah satu pembentuk karakter bangsa Indonesia yang membedakan kita dengan bangsa lain sehingga dapat menjadi identitas dan jati diri bangsa.

Demikian pula tak jadi soal dengan selera kita, apapun motifnya, asal dari manapun coraknya, asalkan batik. dengan berbatik, kita juga makin trendi. Coba saja!***





---------------------------------------
Referensi:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Batik
2. http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?RL=00170
3. Nadia Nava, Il batik - Ulissedizioni - 1991 ISBN 88-414-1016-7
4. http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html
5. Iwan Tirta, Gareth L. Steen, Deborah M. Urso, Mario Alisjahbana, 'Batik: a play of lights and shades, Volume 1', By Gaya Favorit Press, 1996, ISBN 979-515-313-7, 9789795153139
6. Dewan sastera, Volume 31, Issues 1-6 By Dewan Bahasa dan Pustaka
7. The Malay Handloom Weavers: A Study of the Rise and Decline of Traditional ... By Maznah Mohamad
8. http://www.pekalongankota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=375:batik-adalah-ekpresi-budaya-masyarakat-indonesia&catid=82:terkini

10 komentar:

arisekos mengatakan...

Batik itu harus terus dijadikan budaya, walaupun mulai mendapat sentuhan moderenisasi ( contohnya dgn munculnya batik klub sepakbola )
Mari ber-Batik Ria dikala ada kesempatan dan waktu!!!

Matur Nuwun

Asa Jatmiko mengatakan...

Siap Pak Boss.....
Tengkyu support-nya!!!

Anonim mengatakan...

Bukan karena aku orang jawa tetapi batik memang menjadi pilihan dari tourist sampai penduduk lokalpun sekarang memilih batik yang terbaik, sukses dech buat batik indonesia dan penulisnya hehehehehe

nining wae mengatakan...

Dulu batik hanya digunakan orang tua atau, tapi sekarang dari anak hingga oranng tua mengenakanya, apalagi jika kita berkunjung ke kota jogjakarta pasti yang di buru bermacam-macam batik dari baju hingga celana dari londho maupun non londho( hahahah ilat jowo)semua penyuka batik.
Batik indonesia oke punya.

Veho Band mengatakan...

Kayaknya menarik kalau dress-code nya Veho pakai Batik, ya pleen....?!

Anonim mengatakan...

Batik mau donk...

Unknown mengatakan...

baju batik ...??? Saya punya 2 potong...!!!!!!
Batik...batik...yesssssssssssssssssss...!!!!!

nining wae mengatakan...

Kesan pertama begitu menggoda, kesan ke dua ingin mencoba, kesan ke tiga aku lagi nunggu jahitan kain batiku belum jadi-jadi ah.... bu penjahit cepet dong gak sabar nich pingin cepet" pakai baju batik pokoknya batik oke punya.

Anonim mengatakan...

Batik itu adalah seni yang didalamnya terdapat nilai dan banyak sekali keindahan. Batik itu budaya seperti halnya kebiasaan anak menghormat kepada orang tuanya. Batik itu adalah cinta yang tiada tara

Anonim mengatakan...

Batik itu adalah seni yang didalamnya terdapat nilai dan banyak sekali keindahan. Batik itu budaya seperti halnya kebiasaan anak menghormat kepada orang tuanya. Batik itu adalah cinta yang tiada tara